Kamis, 13 November 2008

Tentang Parna

POMPARAN NI SIRAJA NAIAMBATON SISADA ANAK SISADA BORU
Oleh: Drs. G. Siambaton

I. PENDAHULUAN

”Nilai budaya Indonesia yang mencerminkan nilai luhur bangsa, harus dibina dikembangkan guna memperkuat Penghayatan Pengamalan Pancasila, memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional serta memperkokoh jiwa kesatuan”.
Inilah salah satu titik perhatian Republik Indonesia pada Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang di bidang kebudayaan yang dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor: II/MPR/1983.
Budaya Indonesia terdiri dari budaya daerah-daerah, satu diantaranya budaya Batak seperti judul tulisan diatas. ”Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru” adalah Batak Toba yang dapat diartikan dengan ”Keturunan Raja Naiambaton adalah sama-sama pemilik putra dan putri”. Dalam arti yang lebih luas bahwa ”Putra-putri keturunan marga-marga Naiambaton tidak boleh kawin satu sama lain”.

II. KEBUDAYAAN

Kebudayaan merupakan suatu hal yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun. Bentuknya abstrak dan konkrit. Kebudayaan yang berbentuk konkrit seperti rumah adat dan lain-lain, sedangkan yang abstrak seperti tata cara perkawinan, penguburan orang mati dan kebiasaan yang dipesankan nenek moyang.
Diantara kebudayaan tersebut ada yang menghambat pembangunan (karena pemborosan biaya/waktu), tetapi ada pula yang mendukung pembangunan terutama yang bersifat mendukung persatuan dan kesatuan suku bangsa/negara dan mendukung program Nasional.
Kebudayaan yang mendukung pembangunan/program Nasional perlu dibina dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila dan kebanggaan Nasional.
Salah satu kebudayaan bangsa Indonesia yang terdapat di suku Batak adalah pengakuan atau penerimaan marga-marga keturunan Raja Naiambaton yang menyatakan bahwa ”Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru”. Sampai saat ini pengakuan tersebut masih diterima dan dilaksanakan oleh keturunan Raja Naiambaton.
Apakah kebudayaan tersebut perlu diwariskan atau dilestarikan kepada generasi yang akan datang? Itu tergantung kepada seluruh keturunan marga-marga yang termasuk Naiambaton, karena mereka sebagai objek dan subjeknya, serta tergantung pada pengaruh positip negatipnya terhadap kelangsungan hidup Republik Indonesia.

III. RAJA NAIAMBATON

Dalam silsilah orang Batak, posisi Raja Naiambaton digambarkan oleh W.M.Hoetagaloeng dalam bentuk ”Pustaha taringot tu tarombo ni bangso batak”, rangkoman I, 1926 dan 106, sebagai berikut:
Raja Batak
Guru Tateabulan
Raja Isumbaon
Tuan Sorimangaraja
Raja Asiasi
Sangkaisomalindang
Naiambaton
67 Marga
Nairasaon
Naisuanon
Ditambah dengan penjelasan N. Siahaan BA dalam bukunya ”Sejarah Kebudayaan Batak 1964” Djaja S Meliala SH dan Aswin Peranginangin dalam bukunya ”Hukum Perdata adat Karo dalam rangka Pembentukan Hukum Nasional”, serta pengakuan marga-marga tertentu, maka saat ini jumlah marga-marga yang termasuk keturunan Raja Naiambaton berjumlah 67 marga. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari 67 tetapi ada pula yang mengatakan kurang dari 67 marga. Berapapun jumlah marga-marga yang termasuk Naiambaton tidak menjadi masalah, karena pada prinsipnya adalah sama, karena ada yang memakai marga leluhur, ada yang memakai marga nenek, ada yang memakai marga ayah sedangkan marganya sendiri sudah ada. Namun demikian, marga-marga yang termasuk Naiambaton tetap bersatu dalam sebutan PARNA (Parsadaon ni Naiambaton). Persatuannya teguh seperti rantai (songon togu ni rante) disertai ikatan batin yang menyatakan bahwa ”Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru”. Artinya, bahwa keturunan marga-marga yang termasuk Naiambaton tidak diperbolehkan kawin satu sama lain. Mereka adalah bersaudara, kakak beradik dan ”namariboto”. Marga-marga yang termasuk Naiambaton tersebar dihampir seluruh Kabupaten Daerah Tingkat II se-Sumatera Utara mencakup suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Pakpak maupun Batak Simalungun dan bahkan di Aceh Tengah. Di pulau samosir yang termasuk dihuni oleh suku Batak Toba diperkirakan dihuni oleh 60% marga-marga Naiambaton. Demikian juga di Tongging, Brastagi, Pakkat, Dolok Sanggul, Takengon dan lain-lain.

IV. SILSILAH MARGA-MARGA NAIAMBATON

Dalam kehidupan adat istiadat suku Batak, peranan silsilah sangat penting untuk . menentukan peranan seseorang dalam keluarga, maupun dalam marganya sendiri. Dengan jelasnya silsilah dapat memperlihatkan siapa yang kakak (sulung) dan siapa yang adik (bungsu) yang berakibat menunjukkan posisi pada upacara adat.
Khusus mengenai sisilah keturunan Naiambaton, penulis belum bisa menggambarkan secara terperinci yang dapat diterima oleh semua marga-marga keturunan Raja Naiambaton. Namun demikian penulis berusaha mencari beberapa referensi terutama buku ”Pustaha Taringot tu tarombo ni Bangso Batak”, rangkoman I, 1926 karangan W.M. Hoetagaloeng (Lampiran I), sejarah kebudayaan Batak 1964 karangan N. Siahaan BA, (Lampiran II) Hukum perdata adat Karo dalam rangka Pembentukan Hukum Nasional karangan Djaja S Meliala SH dan Aswin Paranginangin (Lampiran III), Perang Gayo Alas melawan kolonialis Belanda karangan M.H. Gayo (Lampiran IV), dalam buku-buku terssebut belum ada keseragaman silsilah keturunan Raja Naiambaton. Dilain pihak, keturunan dikalangan marga-marga Naiambaton silsilah keturunan Naiambaton banyak versi dan tidak ada yang menyatakan silsilah yang diketahuinya yang mutlak benar, karena silsilah yang diketahuinya itu adalah pesan lisan dari orang tua/ orang lain. Hal inilah yang menyebabkan makin mempersulit usaha untuk menelusuri silsilah keturunan Raja Naiambaton. Menurut pengamatan penulis, benar tidaknya suatu silsilah banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
Siapa duluan lahir, yang duluan lahir itulah yang paling tua, kakak atau yang sulung, sedangkan yang belakangan adalah adik atau bungsu.
Anak pertama lahir dari istri kedua yang kakak beradik dengan istri pertama. Siapa yang kakak, apakah anak pertama lahir dari istri kedua atau anak kedua yang dilahirkan istri pertama?
Adanya perbudakan zaman dahulu, budaknya diangkat menjadi anak angkat dan diberi marganya sendiri yang kemudian tidak diketahui oleh anak-anak syahnya.
Adanya perjanjian antara marga untuk tidak kawin satu sama lain yang kemudian marga-marga tersebut seolah-olah satu rumpun.
Adanya perobahan marga seseorang yang karena sesuatu hal yang dulunya marga ”A” dirubah menjadi marga ”B” dengan maksud menyesuaikan diri dengan marga setempat demi pengamanan dan fasilitas yang diinginkan.
Adanya pengakuan marga tertentu yang menyatakan bahwa mereka termasuk rumpun marga diluar rumpunnya semula.Untuk mengatasi permasalahan silsilah keturunan Raja Naiambaton tersebut sangat sulit dan tidak mudah ada juga kemudian untuk menelusurinya dengan melibatkan semua marga Naiambaton menyusun silsilah yang diketahuinya dan diserahkan kepada panitia peneliti kemudian dimusyahwarahakan mengambil keputusan suatu yang dapat diterima semua marga-marga Naiambaton.

V. PENGARUHNYA

Karena tidak disetujui keturuna marga-marga Naiambaton untuk kawin satu sama lain, mengakibatkan mereka harus kawin dengan selain marga-marga Naiambaton dan banyak diantara meraka menjadi perawan tua bahkan ada yang meninggal sebelum berkeluarga. Mereka tidak mau kawin sesama marga-marga yang termasuk Naiambaton, karena memegang teguh pesan leluhur yang menyatakan bahwa, ”Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru”. Mereka lebih baik perawan tua atau mati daripada kawin dengan saudara atau dengan kakak/ adik apalagi dengan ”Ibot”.
Dihubungkan dengan usaha pemerintah dibidang pengendalaian pertumbuhan penduduk melalui Keluarga Berencana Nasional, prinsip tidak boleh kawin sesama marga-marga Naiambaton menjadi sangat membantu. Putra-putri marga-marga Naiambaton didalam mencari jodohnya lebih terbatas dari marga-marga lain, yang dapat berakibat menunda perkawinan.
Dalam bidang persatuan dan kesatuan suku Batak dan Bangsa Indonesia, prinsip ”Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru” dapat merupakan suatu alat pemersatu suku Batak. Bahkan karena keturunan marga-marga Naiambaton mencakup beberapa suku daerah dan sudah banyak kawin dengan suku/ bangsa lain, dan dapat membantu lebih kokohnya Pancasila mempersatukan Bangsa Indonesia.
VI. PROSPEK DIMASA DEPAN
Keturunan marga-marga yang termasuk Naiambaton sudah banyak merantau keseluruh pelosok tanah air bahkan ke seluruh penjuru dunia. Sudah banyak menjadi pejabat tinggi negara, berpendidikan tinggi, orang kaya. Namun ada pula orang miskin, orang yang bodoh dan sebagainya. Ditambah dengan semakin majunya pola pikir manusia, majunya teknologi dan semakin tingginya egoisme, mengakibatkan timbulnya kekhawatiran akan kelangsungan hidup ”Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada Boru” semakin rapuh.
Diperantauan mereka menjadi marga minoritas dan tertekan oleh marga setempat. Mereka terpengaruh kekurang jelasan marga-marga mana saja yang termasuk marga-marga Naiambaton serta usaha menyelamatkan diri maka mereka mengaku menjadi termasuk rumpun setempat, bukan lagi termasuk marga-marga Naiambaton.
Putra putri marga-marga Naiambaton sudah banyak lahir diperantauan dan yang akan merantau lagi keseluruh pelosok tanah air di kota, didesa maupun karyawan di hutan-hutan dan bukan tidak mungkin diantara mereka akan ada yang merantau ke luar negri. Mereka akan jauh dari orang tua dan selalu akan ada kesulitan, mengadakan adat perkawinan, upacara suku maupun duka. Menghubungi orang tua, jauh, tidak mungkin mendatangkan ketempat merantau. Jadi siapakah yang bisa sebagai walinya? Tentu yang satu marga dengan dia atau marga-marga yang termasuk Naiambaton. Kalau tidak, sesama orang Batak, sesama bangsa Indonesia ataupun sesama manusia.
Tetapi sangat disayangkan apabila putra putri marga-marga Naiambaton memilih marga/ orang lain sebagai wali, padahal disekitarnya ada marga marga Naiambaton yang bisa ditunjuk. Kalau penunjukan wali tersebut sengaja, memang itu adalah haknya, tetapi kalau karena marga itu tidak diketahui merga-marga Naiambaton, sangatlah ironi dia sendiri tidak mengetahui marga-marga mana saja yang termasuk marga-marga Naiambaton.
Bahkan karena faktor ketidaktahuan marga-marga mana saja yang termasuk marga-marga Naiambaton mereka menjadi berpacaran dan kawin sesamanya, sangat disesalkan.

VII. KEAJAIBAN DUNIA YANG KEDELAPAN

Tujuh keajaiban dunia yang sekarang, dikatakan ajaib karena merupakan benda besar buatan manusia. Selain karena besar konstruksi yang aneh tanpa didukung teknologi modern, bernilai budaya, pembangunan memerlukan kesabaran dalam waktu lama dan dibangun ratusan tahun yang lalu.
Dibandingkan dengan prinsip pengakuan ”Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru”, yang telah diterima dan dilaksanakan sejak cucu Raja Naiambaton pada ratusan bahkan ribuan tahun silam, maka kebudayaan ”Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru” ini adalah merupakan keajaiban dunia yang ke delapan. Pada marga-marga tertentu, sesama mereka sudah direstui/ bisa kawin satu sama lain. Padahal pada marga-marga Naiambaton yang berjumlah 67 marga atau belum bisa kawin satu sama lain. Jadi pantas dikategorikan sebagai keajaiban dunia.

Tidak ada komentar: